Jumat, 05 Februari 2016

Perindu Musiman

Di penghujung ruang tamu, pelantun nada membisu
Duduk berdiri dikursi sofa, tak ada yang mengajaknya bicara
Tubuhnya merekah tanpa darah, kulitnya sendu bermandikan debu
Malangnya gitar itu

Sebelahnya, sebatang kara meratap penuh harap
Tatap kosongnya pada meja, sebungkus rasa dan penyala, mesra berdua
Bersandar dengan posisi ternyaman, melamun bayang melayang
Ingatan terisikan pesona perempuan, begitu dalam ia memikirkan
Dadanya degup bersenandung kerinduan, mengiringi sajak murahan

Kala langit menitihkan air mata, hitam pena berjalan bersama genggaman
Pasti namun perlahan, mencurah hati tak tertahan
Menggores lembut sepenuhnya, lihai geraknya diatas kertas lama

Jemari menari mengikuti arah jam, meliuk-liuk kearah kanan
Musim hujan telah membangkitkan perindu, jiwa haus pertemuan
Tak merasakan apapun ditubuhnya, selain debar
Setiap tetes air hujan mengandung rindu yang bertaburan,
Mengobarkan rasa untuk sebuah penantian, perempuan

Dia

Dia perantara kelahiranku, menatapku pada dunia
Menumbuhkan lukanya sendiri demi pertumbuhanku
Merawat kesabaran demi merawatku
Membanting bahu demi sekotak susu, untukku

Seringkali wajahnya memerah marah
Memaksaku berilmu agama, masa kecilku lelah
Tapi, aku lebih menurut pasrah
Hanya itu yang membuatnya ramah

Waktu beranjak, aku pun merasa dewasa
Pertanyaan silih berganti mengetuk, diriku sendiri
Aku pun terdiam merenung
Meresapi setiap keraguanku

Sesekali aku terduduk sebelahnya
Meringis tawa, menikmati candaan
Saling lempar senyuman, setiap pembicaraan
Begitu hangatnya

Kini, segalanya seperti sesaat
Dia telah tiada
Berjuta tanya yang ingin kulirihkan
Berjuta kalimat yang ingin kudengar, darinya
Kupikir aku harus menemukan jawabanku sendiri. Ayahku

Tuhan, penuntun pengutaraan

Malam telah larut, dahiku semakin berkerut
Terlalu keras berpikir, mau dibawa kemana aku, olehku sendiri
Kebiasaan, kebosanan masih tetap sama, hari yang membedakanku dengan sebelumnya
Waktu berlalu, tak satupun pesona merengkuhku
Ah, semakin ingin lari saja, lari kepada tanah lapang, melepas beban berteriak kencang.

Temanku, telah membuka perubahan
mengubah segalanya menjadi baik, menginginkan hidup lebih bermakna
Meskipun mataku belum menyapa, tapi aku percaya
Karena temanku, separuhku ada
Aku sedikit diatasnya pada sebagian hal, dulu
Kini, ia melebihiku dalam segala hal, termasuk imannya, jauh meninggalkanku

Kuminta Tuhan perbaiki segalaku
Menuntunku, agar sejajarku dengannya
Terlebih, tentang perasaanku yang terpendam
Mengutarakan semua isiku atas izinNya
Aku jatuh padanya